ESAI · NGACO

DEBAT SANTRI KAMPUNG (SK) VS USTADZ DAUROH (UD) TENTANG AL MAIDAH 51

Obat kebodohan itu ilmu OK3

 

Selama berkelana bersama teman-teman di FB untuk berjuang menggerus “paham radikal” selama pilkada, lumayan dapet candaan kaya gini…:

SK: “Pak ustadz, apa artinya ayat “La tattakhizul Yahuda wan Nashara Auliya’a” dalam Al Maidah 51?”

UD: “Artinya haram memilih pemimpin kafir.”

SK: “Ok pak ustadz, kalau begitu apakah para pegawai yang bekerja di perusahaan yang dipimpin orang kafir wajib mengundurkan diri?”

UD: “Nah antum salah, inilah penafsiran sesat kaum Syi’ah dan Liberal. Yang dilarang dalam ayat itu adalah memilih orang kafir sebagai pemimpin kita, bukan dipimpin oleh kafir.”

SK: “Pak ustadz, kalau begitu bila saya melamar pekerjaan ke sebuah perusahaan saya harus cek dulu pimpinannya kafir atau muslim ya?”

UD: “Lho kan sudah ana bilang, yang dilarang itu memilih/mengambil orang kafir sebagai pemimpinmu, jadi kalau dipimpin oleh kafir ya tidak apa-apa, karena bukan kamu yang milih dia.”

SK: “Lho pak ustadz, bukankah kalau melamar pekerjaan di perusahaan yang dipimpin orang kafir berarti sama saja kita mengambil orang kafir tsb sebagai pemimpin kita di perusahaan?”

UD: “Lho, tapi kan kamu bukan memilih dia, memangnya kamu coblos dia?”

SK: “Yang berbicara tentang mencoblos itu siapa pak ustadz? Memangnya ayat itu diturunkan dalam konteks coblos-mencoblos? Memangnya di zaman Nabi sudah ada pemilu? Bukankah ayat itu tidak berbicara tentang pemilu apalagi coblos-coblosan?”

UD: “Ya, mau pakai pemilu atau tidak. tetap saja haram menjadikan kafir sebagai pemimpin!”

SK: “Nah kalau begitu para pencari kerja yang muslim juga haram melamar ke perusahaan yang dipimpin kafir. Bahkan para perantau yang mencari kos-kosan juga haram cari kos-kosan di lingkungan yang dipimpin pak RT kafir. Bukankah ayat itu jelas berkata “la tattakhizu” artinya “jangan mengambil”, “jangan menjadikan”, “don’t take” atau “ojo njupuk wong yahudi lan nasrani dadi auliya’mu”, jadi sangat universal redaksinya bukan hanya mencoblos. Jadi apapun metodenya tetap haram menjadikan kafir sebagai pemimpin kita, mau lewat pemilu atau bergabung di barisan yang dipimpinnya.”

UD: “Ya tapi kan kalau di perusahaan itu ga ngurusin agama, mereka hanya dalam hal-hal keduniawian, administratif dll sehingga ga ada urusannya sama Al Maidah 51”.

SK: “Lho memangnya di Al Maidah 51 disebutkan pemimpin yang dimaksud hanya berkaitan dengan agama? Setahu saya ayat itu redaksinya sangat universal tadz. Lagipula kalau antum bilang gitu maka jabatan seperti Gubernur Jakarta adalah persis seperti yang antum bilang, yaitu hanya menyangkut hal-hal keduniawian, administratif dll. Bagaimana si pemimpin mengurusi banjir, pelayanan administratif masyarakat, pendidikan murah, kesehatan, harga sembako, jalanan rusak, pembangunan dll, bukan untuk jadi pemimpin pengajian toh?”

UD: “Ya udah kalau itu maumu!”

SK: “Lho pak ustadz kok baper? Kalau gitu fatwakan juga donk ke masyarakat bahwa pencari kerja haram melamar kerja di perusahaan yang dipimpin kafir karena itu termasuk mengambil orang kafir sebagai Auliya’nya. Fatwakan juga haram para pencari kontrakan untuk mencari kontrakan di lingkungan pak RT yang kafir karena itu juga mengambil (Tattakhizu) orang kafir sebagai pemimpinnya dimana ia tinggal.”

UD: “Ga gitu juga kalee, kan diatasnya RT masih ada lurah, diatasnya lurah masih ada camat, diatasnya camat masih ada walikota dst sampai Presiden. Bahkan diatasnya kepala cabang tempat ente melamar kerja juga pasti ada pimpinan Area, pimpinan Regional, dst sampai CEO, nah kalau mereka muslim ya ga pa-pa.”

SK: “Lho kalau begitu Ahok ini tidak apa-apa donk dicoblos ustadz, kan diatasnya Gubernur masih ada Presiden yang muslim.”

UD: “…………”

SK: “Jadi masih mau mengartikan Auliya’ sebagai pemimpin ustadz?”

UD: “Sak karepmu! pokoke yen sampean mati ora dishalatkan!”

 

–oOo–

 

 

 

 

5 thoughts on “DEBAT SANTRI KAMPUNG (SK) VS USTADZ DAUROH (UD) TENTANG AL MAIDAH 51

    1. Brader GunGun, ini sekedar analogi saja kok…tapi jika kita analisis, pikirin, tanya jawab dengan yg pandai, kemudian diskusi lebih dalam yaaa ada benarnya juga, namun tergantung pemahaman dan keyakinan masing-masing aja, salam, wallahu’alam.

      Like

  1. mohon pencerahannya tentang “paham radikal” untuk melabeli suatu paham itu radikal atau bukan, apa parameternya. kalo kita menemukan seperti itu apakah kita harus segera melaporkan ke polisi?

    Like

    1. Wew, susah amat nanyanya. Saya bukan ahlinya. Kalo pemahaman saya radikal itu sesuatu yang tidak lazim, diluar kebiasaan, anti mainstream…yaaa kalo paham radikal di agama ya berdakwah dengan cara-cara tidak lazim, seperti menghasut, caci-maki, adu domba, mengkafiri atau lainnya. Berdakwah itukan mengajak kebaikan dengan cara yang baik.
      Kalo parameternya, sekali lagi saya bukan ahlinya, namun sebagai mahluk berakal kita bisa memakai nalar kita mana yg baik mana yang buruk, mana yg sesuai agama atau tidak. Bagi saya apa yg saya pelajari selama ini bahwa agama itu cinta, bagaimana kita menjalin hubungan dengan Rabb atau dengan ciptaan-Nya. Kemudian bahwa Rasul saw itu diutus untuk menyempurnakan, memperbaiki dan memperindah akhlak. Bahwa Islam merupakan agama yang Rahmatan Lil Alamin dan sebagainya dan semuanya itu telah jelas. Korelasinya dengan paham radikal, anda sendiri bisa menilailah apakah sejalan atau tidak dengan tujuan agama itu sendiri.

      Like

      1. kalo caci maki dan hasud sih sepertinya disetiap kalangan ada. karena saya pernah diminta untuk mengirimkan peserta dari pondok
        pesantren radikal. kemudian saya tanya parameter radikal itu apa. akhirnya tidak dijawab juga. yang saya amati sekarang bisa jadi ada yang melabeli kafir kepada orang lain. misalnya ahok atau siapalah. tapi pada posisi tertentu ada suatu kelompok yang dengan gampang melabeli yang lain dengan radikal dan merasa paling nasionalis.

        Like

Leave a reply to Gadung Giri Cancel reply